Minggu, 26 Agustus 2007

Ironis Bukan!!

Kala Beda Pemahaman Menjadi Malapetaka
Oleh IBN GHIFARIE*

Apapun alasannya mengumpat, mencaci-maki, menghancurkan tempat ibadah tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik. Diridhoi oleh Tuhan apalagi, jelas tidak.

Terlebih lagi, hanya karena beda pemahaman dalam menafsirkan sumber umat Islam (al-Quran dan hadis). Rasanya tak pantas bila kita menyelesaikan persoalan beda pendapat dengan budaya preman. Mengerikan sekali.

Kedengaranya perbuatal lalim itu tak mugkin terjadi, tapi kuatnya arus modernitas dan lemahnya keimanan acapkali perlakuan tak terpuji itu menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam menuntaskan persoalan yang dihadapi.

Di tengah-tengah keterpurukan umat Islam dan krirsis kepemimpinan, masih banyak kelompok tertentu melakukan perbuatak senonoh dalam menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas. Adalah budaya baku hantam menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda.

Islam Sejati Menuai Badai
Salah satunya aliran Islam Sejati, di Desa Nyompok, Kecamatan Kopo, Serang Banten. Konon, kemunculan pemahaman ini dianggap meresahkan masyarakat, hingga menafikan Tuhan. Pasalnya, mereka mengajarkan pemahaman di antaranya; Pertama, shalat menghadap 4 arah mata angin, yakni utara, barat, timur dan selatan.

Salah satu alasannya karena perbuatan ini dikenal sebagai shalat mencari rezeki. Kedua, shalatnya dilakukan 3 waktu (3 kali) dalam sehari. Ketiga, Keyakinan bahwa bulan 6 (Juni) 2007 akan terjadi kiamat. Tidak diketahui secara pasti tanggal terjadinya.

Hery dan Ahyari merupakan kedua tokoh Islam Sejati. Namun, saat dimintai keterangan mereka sedang tak ada di tempat. Kecuali Ammah, istri Ahyari. Ammah mengaku hanya sempat dua kali mengikuti ajaran suaminya. “Menurut Ahyari, ritual itu hanya sebuah doa. Tapi, kata Hery, itu adalah cara sembahyang,” ujar Ammah.

Lantaran caranya tidak masuk di akal, Ammah segera keluar dari ajaran tersebut. Meski untuk itu, dia terpaksa harus bertengkar dengan suaminya. “Hery juga marah-marah karena saya tidak mau diajak ke jalan yang benar,” kata Ammah.

Senada dengan Amanah. Titin, isteri Heri menuturkan, mereka juga meminta ditunjukan cara shalatnya. Lebih mengejutkan lagi, Titin juga mempraktikan cara mandi dengan menggunakan air kelapa. Menurut dia, ini adalah cara suaminya dan Ahyari membaiat para pengikutnya. (Tim Derap hukum SCTV)

Kala Beda Pemahaman Menjadi Malapetaka
Kendati tak diperlakukan semena-mena. Pengikut aliran ini mendapatkan bimbingan lebih dari pemuka agama setempat. Termasuk MUI menjadi juru selamat atas perbuatan ganjil ini. Hingga memberikan pengajaran dua kalimat syahadat lagi kepada mereka supaya bersyahadat lagi. Karena mereka telah dianggap menyimpang dan keluar dari Islam.

Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya, “Mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir.” (H R Bukhari-Muslim).

Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.

Berkenaan dengan pemahaman shalat tiga waktu (Subuh, Dzuhur dan Magrib). Bila kita mencermati al-Quran, maka kita akan menemukan landasan ketiga waktu shalat itu. Yakni ghurubisy syamsi (saat pertengahan matahari; dikenal dengan waktu Dzuhur), ghosaqil lail (saat ufuk merah menyongsong; disebut magrib) dan tulûil fajri (saat fajar datang; akrab dengan sebutan subuh). Memang bila kita hanya mengikuti al-Quran semata, maka perintah shalat hanya cukup tiga waktu saja.

Benarkah Fatwa MUI Bisa Menjadi Obat Mujarab Atas Keresahan Masyarakat?
Namun, ceritanya akan lain bila penguasa hanya mengamini satu madzhab tertentu. Tentunya, di luar kelompok itu harus diberangus dari muka bumi ini.

Begitupun dengan kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten yang menyatakan bahwa paham atau ajaran tersebut sesat. “MUI Banten mengeluarkan fatwa bahwa Islam Sejati adalah aliran sesat,” kata Ketua Bidang Fatwa MUI Banten KH Mas'ud di Serang, Selasa (15/5) kemarin.

Ajaran ’Islam Sejati’ sebelum ini berkembang di Kampung Curaheum, Desa Pasindangan, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak. Aliran ini mengajarkan cara ibadah dan ajarannya tidak sesuai dengan al-Quran dan hadis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten menyatakan bahwa paham atau ajaran tersebut sesat.

Dalam kegiatan peribadatannya mereka melakukan shalat tiga waktu yakni Dzuhur, Magrib dan Shubuh tanpa menghadap kiblat dan tanpa harus berwudlu. Selain itu, mereka juga dalam mengerjakan shalat hanya dilakukan dengan sujud ke sebelah timur dan terus berputar sampai sebelah utara dan bacaan dalam shalatnyapun berbeda dari biasanya. Ajaran lainnya mereka juga melarang melakukan shalat Jumat dan mengeluarkan zakat 25 persen serta berpuasa sahur dilakukan pada jam 24.00.

”Dari tujuh orang penganut Islam Sejati yang sudah dimintai keterangannya, mereka mengatakan hal yang serupa dan tidak ada motif untuk mengikuti ajaran tersebut kecuali tergiur oleh penjelasan yang diberikan gurunya,” kata KH Mas'ud.

Dengan demikian, meskipun belum dibuat secara tertulis, MUI Banten menyatakan bahwa aliran Islam Sejati tersebut adalah ajaran sesat dan sudah meminta kepada para pengikut ajaran tersebut kembali kepada ajaran Islam yang benar sesuai dengan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.

Selain itu, MUI Provinsi sudah meminta kepada MUI di tingkat kecamatan se-Kabupaten Labak, khususnya di Kecamatan Cileles agar terus mengawasi dan memantau perkembangan faham atau ajaran yang menyesatkan warga tersebut.

MUI juga meminta kepada semua penganut ajaran ’Islam Sejati’ tersebut untuk kembali ke jalan yang lurus, dan meninggalkan semua ajaran tersebut karena dinilai sudah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. (www.hidayatullah.com).

Sejatinya kehadiran pewaris nabi harus menjadi perekat sekaligus memperkuat temali silaturahmi antar golongan dalam umat Islam, bukan memperburuk kondisi masyarakat.

Hal ini tak lain guna membangun rasa penghargaan satu sama lain dalam bertukar fikiran. Dengan munculnya Fatwa MUI itu tak ada jaminan akan memperbaiki ukhuwah di antara kedua aliran tersebut. Malahan akan menyulitkan persoalan akut itu. Hingga terjadilah budaya saling bunuh-membunuh. Dengan demikian, mari kita sama-sama belajar menghargai perbedaan pendapat, baik dalam kelompok maupun di luar golongannya.

Jika perbuatan beradab itu tak menjadi bagian keseharian kita maka tunggulah perpecahan di umat Muhammad ini. Dus, kaum iman minoritas pun menjadi satu kelompok yang terpingirkan lagi.

Satu bukti tersingkirnya mereka dari penguasa mayoritas adalah saat penamaan aliran Islam sejati saja, mereka baru mengetahuinya dari media dan pengikut setia Hery dan Ahyari ini tak pernah mengatsnamakan dirinya sebagai Islam sejati. “Saya juga tidak tahu yang namanya Islam sejati. Ketemunya juga di koran,” kata Ammah.

*MAHASISWA STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS FILSAFAT DAN TEOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI (SGD) BANDUNG.

Smber www.syirah.com

Tidak ada komentar: